Pada postingan kali ini, saya akan membahas tentang Kerajaan Aceh
yang meliputi letak geografis Kerajaan Aceh, kehidupan politik Kerajaan
Aceh, kehidupan ekonomi Kerajaan Aceh, awal pembentukan Kerajaan Aceh,
pendiri Kerajaan Aceh, sultan-sultan yang pernah memerintah di Kerajaan
Aceh, masa keruntuhan Kerajaan Aceh, penyebab kemunduran Kerajaan Aceh,
masa kejayaan Kerajaan Aceh, peristiwa penting yang terjadi di Kerajaan
Aceh, dan sumber sejarah Kerajaan Aceh.
KERAJAAN ACEH
A. Letak Geografis Kerajaan Aceh
Kerajaan
Aceh terletak di Pulau Sumatra bagian utara, dekat dengan jalur
perdagangan dan pelayaran internasional. Wilayahnya terbentang dari
daerah Deli sampai semenanjung Malaka.
B. Kehidupan Politik Kerajaan Aceh
Aceh
mulai berkembang setelah Malaka diduduki oleh Portugis tahun 1511 sebab
sebagian besar pedagang-pedagang Islam dari Malaka pindah ke Aceh. Di
samping itu, jatuhnya Samudra Pasai ke tangan Portugis (1521), menambah
keramaian Aceh. Pada tahun 1530, Aceh melepaskan diri dari Pedir dan
berdirilah Kerajaan Aceh dengan Sultan Ali Mughayat (1514– 1528) sebagai
raja pertamanya.
Kerajaan
Aceh mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607–1636). Ia bercita-cita untuk menjadikan Aceh sebagai kerajaan
besar dan kuat. Untuk itu, kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka
harus ditaklukkan, seperti Pahang, Kedah, Perlak, Johor dan sebagainya.
Pengganti
Sultan Iskandar Muda ialah Sultan Iskandar Tani (1636– 1641). Setelah
itu, Aceh terus mengalami kemunduran karena tidak ada lagi sultan yang
kuat. Kerajaan Aceh tidak mampu bersaing dengan Belanda yang mengusai
Malaka pada tahun 1641.
C. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Aceh
Kehidupan
perekonomian yang utama dari masyarakat Aceh ialah perdagangan. Pada
masa kejayaan Aceh, perekonomian Aceh berkembang pesat. Penguasaan Aceh
atas daerah-daerah pantai barat dan timur Sumatra banyak menghasilkan
lada. Semenanjung Malaka banyak menghasilkan lada dan timah. Hal ini
menjadi bahan ekspor yang penting bagi Aceh sehingga perdagangan Aceh
maju dengan pesat.
D. Awal Pembentukan Dan Pendiri Kerajaan Aceh
Kerajaan
Aceh didirikan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah
melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh
di bawah pimpinan Sultan Alaudin al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin
al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor,
namun kerajaan Johor tetap berdiri dan menentang Aceh. Pada masa
kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang pasukan Belanda
yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di
Aceh.
Penggantinya
adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa dari
tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan
karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Aceh, tapi usaha ini
tidak berhasil. Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda
dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam
perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan
Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau,
Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).
E. Sultan-Sultan Yang Memimpin Kerajaan Aceh
1511-1530 : Sultan Alaidin Ali Mughayat Syah
1530-1539 : Sultan Salahuddin
1539-1571 : Sultan Alaidin Riayat Syah (Sultan Al Qahhar)
1571-1579 : Sultan Husain Alaidin Riayat Syah
1579-1580 : Sultan Zainal Abidin
1581-1587 : Sultan Alaidin Mansyur Syah
1587-1589 : Sultan Mugyat Bujang
1589-1604 : Sultan Alaidin Riayat Syah
1604-1607 : Sultan Muda Ali Riayat Syah
1607-1636 : Sultan Iskandar Muda (Dharma Wangsa Perkasa Alam Syah)
1636-1641 : Sultan Iskandar Sani
F. Masa Keruntuhan Kerajaan Aceh
Gejala
kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan
oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun
1637-1642. Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda. Tak seperti
mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam negeri daripada
ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang singkat, empat
tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat
Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan
dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.
Pada
masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang
pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang
pemimpin tarekat dari Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang
erat dengan Sultan Iskandar Sani. Maka dari itu, ia kemudian diangkat
menjadi mufti
(penasehat) Sultan. Pada masa ini terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama (Teungku).
Seusai
Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang
sultanah (sultan perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah
Safiatuddin Tajul Alam (1641- 1675), janda Iskandar Sani. Kemudian
berturut-turut adalah Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan
Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa dari
Mekah yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699
pemerintahan Aceh pun dipegang oleh kaum pria kembali. Ketika Sultanah
Safiatuddin Tajul Alam berkuasa, di Aceh tengah berkembang Tarekat
Syattariah yang dibawa oleh Abdur Rauf Singkel.
Sekembalinya
dari Mekah tahun 1662, ia menjalin hubungan dengan Sultanah, dan
kemudian menjadi mufti Kerajaan Aceh. Abdur Rauf Singkel dikenal sebagai
penulis. Ia menulis buku tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu, berjudul
Tarjuman al-Mustafid (Terjemahan Pemberi Faedah), buku tafsir pertama
berbahasa Melayu yang ditulis di Indonesia. Pada tahun 1816, sultan Aceh
yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam Aminuddin.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris, Thomas
Stanford Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan
oleh Belanda. Ketika itu pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai
Indonesia tengah digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22
April 1818, Raffles yang ketika itu berkedudukan di Bengkulu, mengadakan
perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris
akhirnya Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan
Sultan Saiful Alam.
Pada
tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London,
Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak
boleh mengadakan praktik kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871,
berdasarkan keputusan Traktat Sumatera, Belanda kemudian berhak
memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.
Dua
tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan
Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak
saat itu, Aceh terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah
pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di antaranya Teuku
Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim. Perang Aceh ini baru berhenti pada
tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang orang-orang Aceh.
Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah
berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan
Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di
Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.
G. Penyebab Kemunduran Kerajaan Aceh
Penyebab kemunduran Kerajaan Aceh adalah:
- Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan daerah Kerajaan Aceh yang begitu luas.
- Di masa Sultan Iskandar Sani, disinilah masa-masa kemunduran dan setelah beliau wafat, kemunduran itu lebih terasa sangat mundur.
- Timbulnya pertikaian terus menerus di Kerajaan Aceh antara golongan bangsawan (teuku) dengan golongan ulama (teungku) yang mengakibatkan melemahnya Kerajaan Aceh.
- Daerah-daerah bawahan banyak yang melepaskan diri seperti Johor, Pahang, Perak, Minangkabau, dan Siak.
H. Masa Kejayaan Kerajaan Aceh
Dalam
sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan
Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590 1636). Pada masa itu,
Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia
Tenggara.
I. Peristiwa Penting Kerajaan Aceh
Salah
satu peristiwa penting yang dialami Kerajaan Aceh adalah Perang Aceh,
yaitu dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh.
J. Sumber Sejarah Kerajaan Aceh
Sumber
sejarah Kerajaan Aceh adalah Masjid Raya Aceh, Masjid Raya
Baiturrahman, catatan Lombard, dan asal-usul Aceh yang berupa cerita
turun-temurun.
Itulah materi terlengkap tentang Kerajaan Aceh. Semoga dapat membantu kalian dalam mengerjakan tugas.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete